Kisah-kisah lama mengajarkanku untuk tidak tampak lelah sebelum benar-benar memilih menyerah. Tidak tampak marah sebelum memutuskan pergi. Tidak tampak sakit sebelum memulai untuk berhenti. Di belakang tawa yang girang dan canda yang renyah tentu bersemayam emosi negatif yang meledak-ledak. Maka kemudian janganlah terlihat, menjauhlah dari perhatian, menepilah dari kesilauan.
"Satu jam lagi, ya."
Begitu pesan yang sampai di ponselku siang itu. Sambil menunggu, aku rapikan kamar dilanjutkan mandi dan keramas. Perjumpaan ini telah tertunda tiga minggu lamanya. Sisa waktu kuhabiskan scroll video di reels dan TikTok, mencari bahan tertawa pereda gugup.
Di sepanjang perjalanan, kusandarkan kepalaku padanya. Jam pertama kami tidak banyak bercerita, hanya jemari yang terus saling menggenggam dengan sesekali kecupan pada bahu kiri pertanda rindu yang tidak tertahan. Beberapa waktu berikutnya ia membawakan teh panas dan seduhan mi instan pesanan dari gerbong restorasi. Senja ini dingin dan ujung jari menjadi ngilu menahan kelu.
"Masih jenuh?", ujarku menanyakan kabarnya. Tentang pekerjaan yang membosankan, bos yang tidak tau diri, dan pagi yang penuh risau. Keluhnya tumpah, seakan mau meledak karena terlalu banyak yang disimpan. Akupun bergantian minta didengar, tentang pilihan-pilihan masa depan yang terus membuat bimbang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan kereta sampai pada perhentian terakhirnya. Kerlip lampu hotel tempat kami menginap sudah terlihat, maka kami putuskan jalan kaki saja. Tidak jauh, hanya sembilan ratus meter kemudian kamipun tiba.
Tubuh sudah lelah tapi mulut masih ingin berceloteh menghasilkan obrolan dengan mata terpejam sampai sayupnya semakin tidak terdengar. Esoknya, empat puluh menitan dihabiskan dengan rasa mual di jalan yang berkelok-kelok. Beruntung panorama di tujuan sangat cukup menyisakan kenangan. Tanpa terasa, telah kami lalui dua pagi. Perjalanan sederhana, makanan sederhana, cerita sederhana namun ingin terus dilakukan berulang-ulang.
Liburan akhir pekan ini sungguh melapangkan hati. Menjelang pulang, baru sadar koleksi foto masih minim sekali. Sore itupun kami jalan kaki lagi, mencari camilan murahan pinggir jalan dan menghabiskan malam terakhir layaknya remaja, dilanjutkan dengan menyusuri Braga untuk menikmati nasi goreng kepiting tujuh puluh ribuan yang di depan restorannya ramai penonton live music yang menghibur hingga dini hari.
Telah lama aku dan dia ingin tinggal bersama, agar tak perlu ada kisah pilu yang tertumpuk hari ke hari, agar malam menjadi teman melepas lelah ditemani minuman hangat. Namun kami sadar bahwa kami perlu jeda, untuk tetap kekanak-kanakan tanpa dirusuhi drama orang dewasa. Cicilan, token listrik, apalagi antri kasir saat belanja bulanan. Lebih baik memupuk rindu meski lebih terlihat seperti pabrik yang jadwal pergi dan kembalinya sudah diatur. Lagi-lagi, what's fun about commitment when we have our life to live?
Pada akhirnya, ada yang lebih perih dari cinta beda agama atau yang terhalang restu orang tua. Namun hanya padaku dan padanya kami bisa saling bercerita tanpa memburu empati. Biarkan perasaan ini berkejaran sebelum ada masanya ia hilang sendiri di udara.
Istirahatlah, para pejuang asmara.
suka sama tulisan yang ini bu
ReplyDelete