Bermesraan dengan laptop pagi ini kumulai dengan memeriksa email dan melihat-lihat MySAPK yang tidak kunjung ada pembaharuan sejak 4 hari lalu, bersama sebuah apel, secangkir kopi, dan tembang oleh Taylor Swift yang kali ini lagu pertamanya adalah Only the Young. Sambil menunggu sarapanku berubah menjadi energi, beberapa kali kepalaku menoleh ke kiri, menyadari bahwa rumah tapak 60 meter persegi ini telah kuhuni 5 bulan lebih 5 hari. Ada rasa lega, bahagia, bangga, meski cicilannya masih lebih dari 200 bulan lagi. Sisanya adalah Senin pagi yang tidak siap, setidaksiap mental yang kaget jika betulan harus menjalankan perkuliahan tatap muka setelah UTS, setidaksiap jika aku tidak menerima kabarmu setiap hari.
---
Aku teringat setahun lalu, akhir minggu ketiga Oktober. Aku dan 20 rekanku yang lain sedang bersemangat-bersemangatnya menjalani minggu kedua latsar -pelatihan dasar- CPNS secara daring. Sebuah tahap pendidikan yang harus dijalani oleh orang-orang yang berjanji untuk berkenan membantu negara. Sebetulnya kami bergembira bukan karena kami bisa ikut latsar di balik layar, artinya tidak harus bangun lebih dini untuk olah raga pagi di lapangan Pusdiklat, seperti angkatan-angkatan sebelumnya. Tetapi karena panggilan latsar akhirnya datang, di bulan ke-19 kami menjadi CPNS. Hanya tersedia waktu 5 bulan bagi kami untuk menyelesaikan latsar, dilanjutkan dengan memperbaharui data kesehatan fisik dan mental, serta mempersiapkan dokumen-dokumen lain untuk berhak menjadi PNS. Perjalanan masih jauh untuk dikatakan sebagai dosen betulan, tetapi kami bersyukur ada hilal juga. Dua bulan terasa tidak terlalu lama, bukan karena tugas-tugasnya tidak berat, tetapi karena satu grup angkatan sepakat untuk menjadi tempat bersambat ria. Menekan potensi depresi, tentunya. Sampai detik ini, grup ini masih ramai, tentu paling ramai kalau membahas transferan.
Siang itu, ada pesan masuk di Instagramku, dari seorang senior yang meneruskan informasi ada peluang untuk kuliah di Jepang. Ia tentu saja teringat karena belum lama aku menyampaikan bahwa haluan lanjut sekolah sejak 2017 kupindahkan ke Negeri Matahari Terbit itu. Buru-buru aku memeriksa informasi yang ada, dan satu yang harus segera kuputuskan: calon dosen pembimbing disertasi. Melalui bantuan kakak kelasku, Mas Pandu namanya, aku menelusuri dosen-dosen di sana yang berpotensi kubidik untuk memperdalam ilmu patogenesis cendawan dan kutemukanlah Sone Sensei yang tekun meneliti Pyricularia penyebab blas padi. Respons yang positif dari Sone Sensei, arahan untuk berdiskusi dengan Pak Syibli -seorang dosen Universitas Brawijaya yang baru lulus dari lab yang sama pada Maret 2020-, serta persetujuan dari para pimpinan di divisi dan labku memantapkanku meneruskan proses ini.
Singkat cerita, proses seleksi beasiswa di IPB dan di kampus tujuan telah selesai pada Maret 2021, kemudian aku harus lulus seleksi masuk ke fakultas tujuan dan proses-proses lainnya pada April - Juli 2021. Beberapa kali aku stres karena banyak benturan pekerjaan, terutama memastikan bahwa SK Asisten Ahli yang telah aku usulkan beberapa bulan sebelumnya harus terbit tertanggal 1 Agustus 2021, karena surat perjanjian tugas belajar telah terbit sebelas hari setelahnya. Masa-masa jenuh berhasil dilewati dengan berbagai pelampiasan, perjalanan menghabiskan bensin dan makan angin serta bincang-bincang sederhana penjaga kewarasan, mana setelahnya aku mengikuti diklat Pekerti, sebuah ujian hidup lain yang menguras energi lahir dan batin. Hasil tes bahasa Inggrisku yang masih valid serta hasil tes potensi akademik segera aku input ke website sister.ipb.ac.id sebagai persiapan mencicil pengajuan sertifikasi dosen.
Dari cerita yang kuringkas sedemikian rupa ini, ada hikmah yang panjang. Begitu panjang. Ia bernama: lingkaran energi positif.
Dalam keterasinganku, baik yang disengaja maupun yang terjadi begitu saja, aku berkesempatan mengamati dan memilah baik dan buruk, berhenti dan terus berjalan, serta hitam putih lainnya. Dua hal yang sulit dicerna saat aku terlalu lama terjebak di wilayah abu-abu. Pada situasi ini, aku menemukan mana teman sungguhan dan mana pencari berita murahan. Aku menemukan mana yang setia dan mana yang hanya mencari perhatian. Aku mendapati mana yang sekadar jualan kisah masa lalu dan mana yang terus menyediakan dorongan. Khusus dari proses pencarian tempat bersekolah ini, selain orang-orang di Proteksi Tanaman yang sudah seperti keluarga sendiri, ada satu orang yang tidak akan pernah aku lupakan. Ibu Sintho, namanya.
Jauh sebelum ini, ia adalah gambaran seorang dosen yang cemerlang. Semakin ke sini, semakin banyak hal yang muncul ke permukaan. Ia senantiasa mengingatkan bahwa segera melanjutkan sekolah itu penting sekali. Ia seringkali meluruskan jalanku saat aku mulai belok kesana kemari melupakan prioritas masa depan. Ia tidak berhenti menyemangati ketika aku hampir melewatkan kesempatan-kesempatan penting. Ia rutin memberi dukungan saat aku dilanda tekanan pikiran. Ia adalah teman yang mau saja kuganggu untuk kurasuki dengan berbagai keluhan. Ia adalah pendengar yang baik sekaligus pemberi nasihat yang perhatian.
Terima kasih ya Bu. Saya mendoakan untuk Ibu berbagai kebaikan dalam setiap hari dan keberkahan pada setiap malam. Mungkin saya tidak dapat membalas semuanya, tetapi saya berupaya menjadi teman yang baik untuk terus bekerja dan belajar bersama.
Gelar tiker sambil nyruput kopi ah ☕
ReplyDeleteSewa tikernya 15 ribu per 2 jam ya pak
Delete