Skip to main content

Pamulang Hari Ini

Pamulang, 20 Desember 2020

Setelah banyak mempermainkan orang, kali ini aku dipermainkan oleh langit. Terhitung ada empat kali aku pasang-lepas jas hujan, tepatnya di Bubulak, Salabenda, Parung, dan Ciputat. Sebetulnya, bisa saja aku bertahan tidak perlu melepasnya sampai Pamulang, tapi masalahnya, terik matahari tidak berkenan jadi sahabat dan akupun jadi bahan pelototan orang-orang karena pakai jas hujan di saat sedang panas-panasnya. Terpaksa aku menepi dan kulepas, meski akhirnya kupasang lagi karena rintik selanjutnya pun tidak bersedia berkompromi. Untungnya, pergi ke sini memang sudah kuniatkan sepenuh hati, yang tentu saja tidak akan aku batalkan hanya karena hujan deras. Akhirnya aku berangkat lagi setelah selama 7 tahun terakhir selalu tidak sempat, maksudnya, selalu tidak menyempatkan dengan belasan alasan yang diada-adakan.

Sudah lama sekali aku tidak ke sini. Sampai Jl. Raya Ciputat-Bogor sudah semakin mantap untuk dipakai kebut-kebutan, sudah ada flyover di depan perempatan McD Pamulang, dan menuju ke Komplek Depag sudah harus melewati jalan layang di atas tol yang sebentar lagi akan difungsikan. Sampai ikan-ikan di kolam semakin banyak dan Mas Firaz sudah jauh lebih dewasa dari yang terlihat pada foto-foto yang semakin memenuhi dinding rumah ini. Banyak yang aku lewatkan, banyak yang berbeda. Tetapi setelah semua kekurangajaran yang aku perbuat, ada satu hal yang masih seperti dulu: kehangatan yang aku terima. Perlakuan yang tidak berbeda dengan anggota keluarga lainnya dan tawa yang selalu serenyah itu.



Jujur saja, meski tidak berhenti menggoda anak-anak ganteng ini, aku tidak fokus karena terlalu banyak memori berkecamuk dalam kepalaku tiap memandangi sudut-sudut rumah ini. Ujungnya adalah penyesalan karena telah meninggalkan kesempatan baik dari orang-orang yang kebaikannya tidak perlu diragukan. Biarlah ini menjadi hikmah bahwa perilaku kekanak-kanakan memang perlu difasilitasi untuk belajar menjadi dewasa, meski seharusnya tidak diiringi dengan ledakan emosi dan lumpuhnya logika. Sumpah, aku bodoh, bodoh sekali. Lagu lama mengenai "Sejauh apapun pergi, kamu akan tau ke mana harus kembali." muncul terus-terusan di telingaku, entah siapa yang bersenandung. Nasihat "Setiap orang punya ujiannya masing-masing, sabar saja, dihadapi saja." memang sering kudengar tapi kali ini berhasil masuk ke telingaku dengan begitu sopan, sampai tidak terasa mataku berkaca-kaca padahal aku sedang pura-pura serius menonton si Molang yang jualan cupcakes warna-warni.



Satu keluarga ini punya mata yang indah. Ternyata mata itu adalah cerminan hati yang penuh ketulusan, penerimaan tanpa basa-basi dalam bentuk senyuman yang menawan. Tidak pernah terlihat bosan menyambutku datang, bermalam setelah lelah bercanda dan ngemil, dan melepas saat aku pulang. Liburan yang selalu menyenangkan meski harus dengan empat kali naik turun angkot sejak dari Dramaga. Perjalanan yang sama kuulang kembali, tiap ada libur agak panjang dan teman-teman kembali ke rumahnya, sementara orang tuaku masih tinggal di Medan dan harga tiket tidak mendukung untuk pulang. Jadi, sejak semester tiga sampai menjelang jadi sarjana, di sinilah aku berlibur, melepas penat setelah berkutat dengan beratnya materi kuliah di slide biru tua dengan tulisan putih dan kuning.

Setelah 2014, malah aku tidak pernah datang ke sini lagi sama sekali. Jangankan datang dan menginap, menyengajakan bertemu pun bisa dihitung jari. Seingatku, hanya tiga kali: hari pernikahanmu, ulang tahunku ke-25 (real quarter-life crisis, tho), dan hari pernikahanku. Kalau momen-momennya tidak sebesar yang disebutkan barusan, tentu akan bertambahlah alasan untuk tidak berjumpa. Ini karena orang tuaku sudah pindah ke Bogor, jadi aku sudah punya tempat pulang sendiri. Ya nggak lah, ini hanya alasan di balik sebab yang sebenarnya, hahaha. Intinya, aku senang bisa datang lagi, bawa motor sendiri, tanpa harus merepotkan Papa antar jemput di pom bensin Cimanggis.


Dan aku di sini, merajut kembali tenun silaturahim yang kurobek sendiri. Aku beruntung karena ternyata jarumku belum terlalu tumpul. Juga, benangnya masih selalu tersedia, di hati mereka.

 

Comments

Popular posts from this blog

Die Another Day

Malam ini sepulang bekerja, kudapati sebuah amplop di dalam kotak surat. Isinya sumpit cantik dan selembar tulisan, kiriman seorang teman Jepang dari provinsi sebelah. Lelah lahir batinku tidak hilang seketika tapi menyelesaikan malam menjadi lebih ringan rasanya. Teman yang sama yang dulu membuatkan aku materi belajar bahasa lalu menyempatkan mengajari secara online saat aku masih di Bogor. Belasan pertemuan, sudah seperti kurikulum sekolah tetapi untungnya yang ini tidak ada UTSnya, bisa-bisa nilai jeblok karena IQ sudah turun banyak akibat kognitif sudah tidak pernah diasah.  Teman yang sama yang terbang ke Sapporo tepat di pekan pertama aku tiba, mengajari cara beli tiket kereta dan menunjukkan tempat-tempat makan halal. Karena dia tau pilihan makanku terbatas padahal dia pun bukan warga situ. Teman yang tidak pernah terlambat apalagi bolos sekolah, tapi rela ambil cuti kerja 3 hari menemaniku keliling Yokohama dan Tokyo semester lalu. Agar aku tidak sendirian menunggu waktu ja...

Semeja Tanpa Dialog

Ada yang menunggu kamu, tepat di waktu ini, pada malam yang sendu "Apa kabar kamu hari ini?" Klise namun ingin kuulangi setiap malam. Meski lebih sulit mencari celah waktumu di penghujung hari, tetapi baiklah, kesehatan dan istirahatmu lebih penting dari itu. Aku percaya di mana kau kucari, di situ kau sedang merapikan hidupmu untuk peristiwa membahagiakan keesokan harinya. Kebingunganmu terasa sampai di sini, di ribuan kilometer jarak kita saat ini. Keresahan tanpa alasan, tarik ulur yang semakin seru, juga permintaan hati yang tak kunjung dapat kukabulkan. Hal-hal kecil yang sudah berubah, kebiasaan yang kini menjadi berbeda. Kamu tetap ada namun rentang kita semakin terasa. Kuingat pernah dengan lantang kuteriakkan bahwa memang terlalu jauh bicara mati, namun hanya itulah yang bisa memisahkan kamu dari penjagaanku. Senaif itu cintaku padamu hingga kadang lupa bahwa tidak semua yang hadir akan menjadi takdir. Kulihat kembali pesan-pesan yang saling kita kirimkan sejak pagi,...

Days of A Sinovacced

Prolog Senin, 11 April 2022. Siang ini saya akan berangkat ke Sapporo! Saya diberi tugas oleh Institut Pertanian Bogor untuk melanjutkan belajar pada jenjang S3 di Laboratorium Applied Molecular Microbiology, Graduate School of Global Food Resources, Hokkaido University. Saya akan mempelajari patogenesis cendawan penyebab blas padi, dibimbing oleh Bapak Profesor Teruo Sone. Sponsor belajar saya adalah Hokkaido University President's Fellowship yang seluruh rangkaian seleksi beasiswa sampai penyelesaian urusan dokumen admission ke graduate school  berikut support morilnya dibantu oleh ICO, direktorat program internasional di IPB. Karena program ini sudah dimulai sejak Oktober 2021 tetapi waktu itu belum bisa berangkat karena pandemi, saya harus memulai semester 1 di Indonesia. Terima kasih kepada Departemen Proteksi Tanaman atas segala fasilitas penelitian yang diberikan pada penumpang gelap ini. Cerita perjalanan saya terangkum di sini. Selamat membacaaa. Bagi rekan-rekan yang aka...