Minggu, 28 Agustus 2016
Betapa indah jika memulai hari dengan rasa syukur yang besar. Syukur pada Allah, yang telah karuniakan banyak orang baik di sekeliling kita. Yang mendamaikan hati seluruh makhluk-Nya sehingga kesyahduan terekspresi pada hangatnya pagi. Andai ilalang mampu bergumam, tentu dia 'kan ceritakan persahabatan apiknya dengan hembusan angin yang meneduhkan. Kemahasempurnaan yang sungguh sulit ditumpahkan dalam baris-baris kata.
Bulan Agustus bersiap pergi, merelakan para pejuangnya menyambut bulan yang konon katanya dipenuhi jutaan fenomena: September ceria!
---
September segera datang. Itu berarti genap sudah enam tahun aku meninggali si kota hujan. Kata ayahku, belajar/menghafal di saat-saat dingin -salah satunya saat hujan- akan lebih mudah, karena alam menyediakan kondisi yang rileks bagi kerja otak. Kata guruku, hujan itu penuh rahmat karena dalam setiap tetes hujan disertai malaikat yang siap mencatat ribuan keinginan manusia. Lantas dua pernyataan itu membuat aku berdecak, "Betapa beruntungnya orang-orang yang tinggal di kota ini ... Bisa dapat dua kesempatan besar hampir setiap harinya."
Ratusan syukur yang tercipta di hati bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak? Di kota ini lah akhirnya aku dan keluargaku 'kembali' berkumpul selepas hijrah dari provinsi multietnis terbesar di Indonesia, Sumatera Utara. Berhimpun lagi dalam satu atap setelah selama beberapa tahun ini sebanyak empat orang tinggal di tiga kota berbeda. Bogor, Semarang, Sampit. Keluarga yang begitu bersemangatnya mendukung dari segala arah untuk setiap langkah baik. Meski sekarang siklus kehidupan ala orang Batak (merantau) berputar lagi di tiga tanah. Bogor, Palembang, Papua. Darah, selamanya akan tetap mengikat dalam doa-doa yang selalu mengharukan, dalam transfer semangat yang senantiasa menyegarkan. Karena aku percaya, tujuan pergi hanyalah untuk satu hal: kembali pulang.
---
September datang dan kembali datang.
Bogor semakin mengesankan dengan beragam pelajaran datang menghampiri. Tentang kejujuran, kesederhanaan, mimpi besar, dan jati diri. Bagaimana nilai-nilai kehidupan di sekolah diasah setajam mungkin dibumbui dengan tangisan, kelelahan, dan perihnya kekecewaan. Realita yang sering bersilangan dengan mimpi-mimpi yang dicetuskan secara berani. Godaan hidup bermewah-mewahan. Jalinan pertemanan yang pasang dan surut. Rasa cinta yang datang dan pergi. Keakraban yang sebentar timbul sebentar tenggelam. Waktu berjalan, manusia pun berubah. Satu yang hanya boleh berubah lebih besar: tekad dan kesetiaan pada cita-cita.
Bagaikan rectoverso yang terjalin pada setiap uang kertas, pun begitu dengan kehidupan. Sering kali perasaan bersalah terhadap masa lalu, ketidakutuhan kebahagiaan masa sekarang, bayangan ketidakpastian masa depan menghantui dan melahirkan kebimbangan-kebimbangan. Ditambah dengan ketidakpedulian terhadap bahasa alam yang mengantar pada kerumitan lain dalam dinamisnya hari. Untuk menyeimbangkan semuanya dan menjadikannya utuh, banyak caranya. Beberapa yang penting adalah memperbaiki kualitas ibadah-ibadah wajib dan sunnah, perlahan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang agama, dan merefleksikan diri untuk larut pada keseharian orang-orang di sekitar. Orang-orang di sekitar ini sering disebut keluarga tak sedarah.
Keluarga tak sedarah. Akan banyak sosok yang namanya selalu melekat di hati dan pikiran. Berharap besar padanya untuk menjalani kebersamaan di dunia lalu bersambung ke akhirat. Sosok-sosok yang memberikan makna lebih dari sikap santun, senyuman, serta dukungan yang tiada tara. Dukungan dalam bentuk kepercayaan diri yang didorong untuk melejit, jauh melampaui angkasa.
---
September datang juga berarti teriakan lingkungan dan sekitarnya untuk lulus semakin keras. Berharap berlembar-lembar karya ilmiah hasil perkuliahan dan penelitian selama ini berhasil dicetak sebelum tahun berganti. Itu berarti tersisa empat bulan menuju pergantian kalender di dinding rumah-rumah dan kantor-kantor. Empat bulan bukanlah waktu yang lama apalagi suasana hati kadang melayang jauh sampai ke bintang kadang menyelam ke dasar lautan. Untungnya, ada ruang kecil di dalam nurani yang selalu berbisik,
---
Pernahkah kau merasa seluruh energi di sekitarmu berkumpul, membuat pusaran, membuatmu lupa pada kelebihan dan kekurangan, dan hanya mengizinkanmu berdiri tegak bersama semangat tiada tara? Pakai sepatumu. Berlarilah lagi. Sekarang harus lebih kencang.
Betapa indah jika memulai hari dengan rasa syukur yang besar. Syukur pada Allah, yang telah karuniakan banyak orang baik di sekeliling kita. Yang mendamaikan hati seluruh makhluk-Nya sehingga kesyahduan terekspresi pada hangatnya pagi. Andai ilalang mampu bergumam, tentu dia 'kan ceritakan persahabatan apiknya dengan hembusan angin yang meneduhkan. Kemahasempurnaan yang sungguh sulit ditumpahkan dalam baris-baris kata.
Bulan Agustus bersiap pergi, merelakan para pejuangnya menyambut bulan yang konon katanya dipenuhi jutaan fenomena: September ceria!
---
September segera datang. Itu berarti genap sudah enam tahun aku meninggali si kota hujan. Kata ayahku, belajar/menghafal di saat-saat dingin -salah satunya saat hujan- akan lebih mudah, karena alam menyediakan kondisi yang rileks bagi kerja otak. Kata guruku, hujan itu penuh rahmat karena dalam setiap tetes hujan disertai malaikat yang siap mencatat ribuan keinginan manusia. Lantas dua pernyataan itu membuat aku berdecak, "Betapa beruntungnya orang-orang yang tinggal di kota ini ... Bisa dapat dua kesempatan besar hampir setiap harinya."
Ratusan syukur yang tercipta di hati bukan tanpa alasan. Bagaimana tidak? Di kota ini lah akhirnya aku dan keluargaku 'kembali' berkumpul selepas hijrah dari provinsi multietnis terbesar di Indonesia, Sumatera Utara. Berhimpun lagi dalam satu atap setelah selama beberapa tahun ini sebanyak empat orang tinggal di tiga kota berbeda. Bogor, Semarang, Sampit. Keluarga yang begitu bersemangatnya mendukung dari segala arah untuk setiap langkah baik. Meski sekarang siklus kehidupan ala orang Batak (merantau) berputar lagi di tiga tanah. Bogor, Palembang, Papua. Darah, selamanya akan tetap mengikat dalam doa-doa yang selalu mengharukan, dalam transfer semangat yang senantiasa menyegarkan. Karena aku percaya, tujuan pergi hanyalah untuk satu hal: kembali pulang.
---
September datang dan kembali datang.
Bogor semakin mengesankan dengan beragam pelajaran datang menghampiri. Tentang kejujuran, kesederhanaan, mimpi besar, dan jati diri. Bagaimana nilai-nilai kehidupan di sekolah diasah setajam mungkin dibumbui dengan tangisan, kelelahan, dan perihnya kekecewaan. Realita yang sering bersilangan dengan mimpi-mimpi yang dicetuskan secara berani. Godaan hidup bermewah-mewahan. Jalinan pertemanan yang pasang dan surut. Rasa cinta yang datang dan pergi. Keakraban yang sebentar timbul sebentar tenggelam. Waktu berjalan, manusia pun berubah. Satu yang hanya boleh berubah lebih besar: tekad dan kesetiaan pada cita-cita.
Bagaikan rectoverso yang terjalin pada setiap uang kertas, pun begitu dengan kehidupan. Sering kali perasaan bersalah terhadap masa lalu, ketidakutuhan kebahagiaan masa sekarang, bayangan ketidakpastian masa depan menghantui dan melahirkan kebimbangan-kebimbangan. Ditambah dengan ketidakpedulian terhadap bahasa alam yang mengantar pada kerumitan lain dalam dinamisnya hari. Untuk menyeimbangkan semuanya dan menjadikannya utuh, banyak caranya. Beberapa yang penting adalah memperbaiki kualitas ibadah-ibadah wajib dan sunnah, perlahan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang agama, dan merefleksikan diri untuk larut pada keseharian orang-orang di sekitar. Orang-orang di sekitar ini sering disebut keluarga tak sedarah.
Keluarga tak sedarah. Akan banyak sosok yang namanya selalu melekat di hati dan pikiran. Berharap besar padanya untuk menjalani kebersamaan di dunia lalu bersambung ke akhirat. Sosok-sosok yang memberikan makna lebih dari sikap santun, senyuman, serta dukungan yang tiada tara. Dukungan dalam bentuk kepercayaan diri yang didorong untuk melejit, jauh melampaui angkasa.
---
September datang juga berarti teriakan lingkungan dan sekitarnya untuk lulus semakin keras. Berharap berlembar-lembar karya ilmiah hasil perkuliahan dan penelitian selama ini berhasil dicetak sebelum tahun berganti. Itu berarti tersisa empat bulan menuju pergantian kalender di dinding rumah-rumah dan kantor-kantor. Empat bulan bukanlah waktu yang lama apalagi suasana hati kadang melayang jauh sampai ke bintang kadang menyelam ke dasar lautan. Untungnya, ada ruang kecil di dalam nurani yang selalu berbisik,
Bersyukur dan berbahagialah dengan harimu hari ini. Bersemangatlah menyambut masa depan. Saat potensi dan kesenangan bekerja akan segera dapat terfasilitasi. Pulanglah, ketuk pintu hatimu untuk tanyakan jalan terbaik yang diinginkannya.Dan untungnya lagi, lagu-lagu Taylor Swift selalu memanjakan telinga dengan lirik dan musik yang mampu meredam pusing. Sederhana, renyah, santai. Tidak pernah lelah bersenandung meski diputar berkali-kali. Menemani jari-jari yang menari berirama.
---
Pernahkah kau merasa seluruh energi di sekitarmu berkumpul, membuat pusaran, membuatmu lupa pada kelebihan dan kekurangan, dan hanya mengizinkanmu berdiri tegak bersama semangat tiada tara? Pakai sepatumu. Berlarilah lagi. Sekarang harus lebih kencang.
Comments
Post a Comment